Senin, 11 April 2011

aremania.com

Go A Head Arema Indonesia : Catatan dari nawak Arema Senayan


Sebagai Club yang sejak awal mandiri dan tidak memiliki ketergantungan terhadap APBD, Arema Indonesia tentunya berharap dukungan yang sangat besar dari suporter. Sebagaimana konsep yang diterapkan oleh sepakbola industri. Dukungan itu tersebut harus diwujudkan dalam bentuk legal, bisa dalam bentuk tiket pertandingan home, maupun dari segi lainnya seperti merchandise, disamping pemasukan dari segi bisnis dan sponsorship.
Melihat beberapa pertandingan kandang Arema Indonesia, terjadi penurunan jumlah penonton yang cukup signifikan, bisa kita lihat pada pertandingan kandang perdana usai tour panjang di akhir putaran pertama dan awal putaran kedua menghadapi Sriwijaya FC, jumlah penonton sebanyak 20.052 orang (Sumber, BLI) atau kurang dari 2/3 dari kapasitas Stadion Kanjuruhan yang mampu menampung lebih dari 30.000 orang. Demikian juga ketika pertandingan kandang melawan Persib Bandung, jumlah penonton 19.382 (sumber BLI)  atau lebih sedikit dibandingkan pada saat melawan Sriwijaya FC. Dan yang lebih parah lagi bisa kita lihat pada saat

pertandingan terakhir di kancah Liga Champion Asia (LCA) dimana terlihat sekali tribun utara, selatan, dan VIP terisi hanya beberapa orang, dan diperkirakan jumlah penonton yang hadir hanya sekitar 5.000 orang.
Hal ini tentunya menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kita semua, terlebih lagi kalau kita simak beberapa saat terakhir adanya tour panjang laga ISL dan LCA sehingga meminimalkan pendapatan club dan menyebabkan adanya keterlambatan pembayaran gaji pemain sehingga sempat menyebabkan adanya mogok latihan yang dilakukan oleh pemain. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi performance anak-anak Singo Edan diatas lapangan. Adanya permasalahan tersebut, berakhir dengan kesepakatan bahwa sejak perandingan melawan Persib Bandung, seluruh pendapatan dari tiket akan dialokasikan sepenuhnya untuk melunasi gaji pemain. Namun, dengan menurunnya jumlah penonton secara signifikan, maka skenario pelunasan gaji pemain dari pemasukan tiket pun menjadi berantakan.
Krisis keuangan yang berlangsung secara terus menerus dan berulang hampir setiap tahun menjadikan keprihatinan tersendiri bagi kita. Gerakan #savearema seolah-olah selalu berulang dan berulang setiap tahun. Patungan, urunan, bantingan, solidaritas aremania sebagaimana yang dilakukan pada saat pertandingan LCA menghadapi Jeonbuk FC di Kanjuruhan beberapa saat yang lalu mungkin bisa sedikit mengangkat mental pemain dan cukup menimbulkan respect pemain bahwa Aremania akan selalu ada untuk Arema. Namun, karena dana yang didapatkan secara spontanitas tersebut tidak melalui jalur pemasukan yang sesuai dengan sumber pemasukan legal club, dana tersebut tidak dapat digunakan untuk melunasi gaji pemain.
Program pembelian tiket terusan dan BELI TIKET TANPA NONTON yang sempat digalang melalui media online oleh beberapa komunitas Aremania pun juga masih mendapatkan sambutan yang kurang luas. Pemasukan yang diperoleh dari sektor ini masih belum bisa dikatakan signifikan untuk bisa menyambung nafas team. Padahal, jika program ini bisa berjalan, misalkan 30% saja dari kapasitas Kanjuruhan, atau sekitar 10.000 tiket terjual melalui tiket terusan di awal musim, dengan harga Rp 25.000,- (untuk tiket ekonomi) jika satu musim ada 17 pertandingan home, maka akan didapatkan dana Rp. 25.000 x 10.000 tiket x 17 Match = Rp. 4.250.000.000 (Rp. 4 Milyar lebih). Jumlah yang cukup signifikan untuk langkah awal mengarungi kompetisi.
Adanya konfilik internal di tubuh kepengurusan Arema Indonesia, juga semakin menajamkan permasalahan yang ada. Tarik menarik kepentingan baik itu ditingkatan lokal Arema Indonesia, hingga terbawa pada tingkatan Nasional di tengah ramai dan ributnya arena Kongres PSSI seolah semakin menajamkan konflik ini. Hal ini kembali menimbulkan keprihatinan yang lebih dalam bagi kita semua, terlebih bagi Aremania yang merupakan pemilik sejati dari Arema Indonesia.
Dikatakan sebagai pemilik sejati, karena ketergantungan antara keduanya sangat tinggi. Arema Indonesia takkan bisa hidup tanpa Aremania, demikian juga sebaliknya. Aremania akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya jika tidak ada Arema Indonesia. Secara emosional keterikatan dan ketergantungan keduanya sangat tinggi. Oleh karena itu, meskipun tidak (belum) secara de jure tapi secara de facto Arema Indonesia adalah milik Aremania.
Mengaca pada trend yang sedang terjadi di Eropa, seperti halnya di Barcelona, dimana klub asal Catalan ini ternyata 100% adalah miliki suporter. Dengan pemilik sebanyak 170.000 orang yang membayar iuran setiap tahunnya sebesar 140 € Club ini memiliki kepanjangan tangan berbagai lembaga-lembaga sosial yang didanai dari keuntungan Club. Konsep Sepakbola Industri yang diterapkan pada Barcelona tidak lebih sebagai bagian dari proses untuk lebih mendukung misi sosialnya. Dengan mekanisme tertentu, dari 170.000 orang tersebut akan ada beberapa orang yang menduduki posisi di atas manajemen club sebagai owner sedangkan manajemen club, termasuk pelatih dan pemain adalah orang-orang yang bekerja dan dibayar secara profesional.
Kepemilikan Club oleh suporter ini berkembang menjadi trend positif di Eropa, beberapa club di EPL (Liga Inggris) juga sudah menerapakannya seperti New Castel, dan bahkan Manchester United tengah melangkah kearah sana untuk merebut dominasi Glazer yang menyebabkan krisis keuangan di Manchester United FC. Bahkan, secara resmi Bundesliga (Liga Jerman) sudah menentukan peraturan terkait hal ini, dimana setiap team yang berlaga di Bundesliga minimal 50%+1 proporsi kepemilikannya harus berada ditangan suporter. Langkah positif ini menyebabkan rasa memiliki dan loyalitas terhadap club semakin tinggi. Lihat saja di Bundesliga yang meskipun secara koefisien liga UEFA menempati peringkat 3, namun Bundesliga memilki rata-rata jumlah penonton tertinggi di Eropa, dengan kisaran 41.802 penontot per pertandingan Bundesliga selama musim 2009/2010. Disamping itu, Bundesliga juga menjadi kompetisi yang paling sehat, dan paling profit. Tidak ada Club yang bangkrut di kompetisi ini. Berbeda dengan Liga Italia yang masi didominasi oleh pengusaha dan murni menerapkan Sepak Bola Industri, justru beberapa club sempat dinyatakan pailit, dan bahkan satu dari The Magnificient Sevent yaitu Fiorentina sempat dinyatakan bangkrut dan didegradasi karena ketidaksanggupan mengikuti kompetisi. Berbagai artikel tentang kepemilikian dukungan suporter terhadap club secara langsung dapat disimak pada situs http://www.supporters-direct.org .
Menyimak apa yang terjadi di Barcelona FC, nampaknya tidak berlebihan jika militansi suku Catalan yang mendiami kawasan Barcolena sedikit banyak memiliki karakteristik yang tidak jauh berebeda dengan Aremania yang mendiami kawasan Malang Raya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang mustahil, asalkan direncanakan dengan seksama, disiapkan secara serius, dan didukung oleh semua pihak. Arema Indonesia menjadi milik Aremania dalam arti kata yang sesungguhnya, atau secara de facto dan juga de jure. (lek)
*redaksi menerima tulisan tersebut langsung dari penulisnya*
sumber : http://aremasenayan.com/2011/04/06/head-arema-indonesia.php
Filed Under: AREMA INDONESIA, AREMANIA

Tidak ada komentar: